Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, manusia mampu melahirkan kebudayaan-kebudayaan baru. Dengan mengkonstruk ilmu pengetahuan yang dimiliki, manusia mampu menduplikasi fenomena alam yang terjadi. Kebudayaan-kebudayaan yang dilahirkan oleh manusia tentu akan mempengaruhi pola hidup manusia itu sendiri.
Kendati demikian, polarisasi kehidupan yang dilakukan oleh manusia (masyarakat) dengan kebudayaan tersebut terkadang menimbulkan “culture shock” dalam dirinya. Ketidaksiapan sebagian masyarakat dalam menerima kebudayaan baru tersebut, justru akan memaksakan dirinya untuk mencoba hal-hal baru. Pun demikian, karena sebagian masyarakat Indonesia sampai saat ini dengan mempraktekkan kebudayaan di luar dirinya (khususnya budaya luar negeri) yang kemudian diabadikan menggunakan kamera yang selanjutnya diposting/diupload ke media sosial dengan harapan yang tidak nampak (abstrak) yaitu adanya kebutuhan sanjungan dari sekitarnya (“prestice”).
Fenomena sosial seperti ini cukup membahayakan bagi kaum mileneal. Selain membahayakan, hal tersebut juga bisa bernilai positif. Artinya, kaum mileneal yang mampu memanfaatkan teknologi maka keuntungan secara ekonomi mampu diraihnya. Tak luput pula hal tersebut dilakukan juga oleh orang-orang dewasa. Lahirnya kebudayaan modern yang kita rasakan saat ini tidak lepas dari peran kaum kapitalis.
Kaum pemodal ini merongrong segala lini kehidupan ekonomi masyarakat. Mengeluarkan biaya yang tidak tanggung-tanggung demi tercapai hasrat birahi keuntungannya. Mereka tidak akan pernah memperdulikan dampak lingkungan (location) dan ruang (space) apalagi dampak sosial (social). Akan tetapi dengan sikap masyarakat yang permisif maka segala perubahan yang terjadi tidak begitu dihiraukan.
Selain dari pada itu, pihak pemerintah sebagai regulator semestinya lebih mendalam mengkaji segala aspek pembangunan yang dilakukan. Semua bentuk pembangunan yang dilakukan tentu tidak lepas dari pemberdayaan masyarakat, karena tentu pembangunan yang dilakukan pada hakikatnya untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Kepentingan atau kebutuhan yang dimaksud di sini bukan pada satu aspek kehidupan saja, akan tetapi mencakup lini kehidupan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri, harga diri serta terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak saja menumbuhkembangkan nilai tambah ekonomi tetapi juga nilai tambah sosial budaya. Berbicara tentang kebudayaan tentu bertalian erat dengan kearifan lokal (local wisdom) sebagai domainnya. Kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki justru akan terkikis sendirinya dengan lahirnya kebudayaan baru tanpa diperkuat dengan penanaman atau sosialisasi budaya.
Padahal jika dikaji lebih mendalam, kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki oleh masing-masing daerah yang ada di seluruh Indonesia, terdapat nilai-nilai (values) yang sangat luhur sebagai bentuk warisan nenek moyang yang sangat kental dengan karakter bangsa. Pembahasan ini bukan bermaksud kita berlaku terlalu “kaku” dalam menghadapi fenomena sosial yang ada. Namun justru hal ini sebagai bentuk antisipasi terjadinya reduksi budaya yang kita miliki. Oleh karenanya kerjasama antar lembaga dan masyarakat harus selalu digalakkan agar tercapai kebudayaan yang berkesinambungan.